BPSmengingatkan, tingginya inflasi akibat lonjakan harga pangan berisiko besar terhadap peningkatan kemiskinan. BPS pada Maret lalu mencatat angka kemiskinan mengalami penurunan ke level 9,71 persen atau 26,5 juta jiwa. Kemiskinan di perdesaan sebesar 12,29 persen, lebih tinggi dari persentase di perkotaan yang sebesar 7,5 persen.
Pemberontakanini muncul dilandasi oleh ketidakpuasan di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat saat itu. Salah satunya adalah dari Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah di bawah pimpinan Letkol D.J. Somba. Kemudian datang pula dukungan dari Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) di bawah pimpinan Panglima TT VII Letkol Ventje
v8Uw. - Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI merupakan gerakan pertentangan antara pemerintah RI dan daerah yang terjadi pada 1950 di Sumatera. Latar belakang munculnya gerakan PRRI adalah rasa tidak puas di daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat pada saat itu. Ketidakpuasan di daerah dipicu oleh adanya kesenjangan pembangunan di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Akibatnya, terjadi berbagai revolusi di daerah. Untuk menumpas pemberontakan PRRI, pemerintah melancarkan serangkaian operasi militer. Baca juga PRRI Latar Belakang, Tuntutan, Anggota, Penumpasan, dan Dampaknya Penumpasan PRRI Pascakemerdekaan, kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil, sehingga kesejahteraan dan pemerataan pembangunan pun terasa sulit. Kesenjangan pembangunan yang terjadi di Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya kemudian memicu munculnya sentimen bahwa daerah dikesampingkan. Sentimen ini kemudian mengakibatkan terjadinya upaya-upaya revolusi di daerah. Buntut dari upaya-upaya tersebut adalah diklaimnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia PRRI oleh Letkol Ahmad Husein pada 15 Februari 1958. Dalam pemberontakannya, PRRI mengajukan beberapa ultimatum. Salah satu ultimatum yang diberikan PRRI/Permesta kepada pemerintah pusat adalah presiden harus mencabut mandat Kabinet Djuanda. Semenjak gerakan PRRI semakin gencar dilakukan, pemerintah pusat menganggap hal ini harus segera dihentikan.
Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Prof. Dr. R. Siti Zuhro, memberikan perhatian khusus terkait terhadap pola relasi Pusat-Daerah yang acapkali tidak harmonis. Hal itu umumnya disebabkan karena ketidakpuasan Daerah kepada Pusat. Menurutnya hal itu karena terbatasnya kewenangan yang dimiliki daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Mulai UU 22 Tahun 1999 sampai UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Permasalahan menonjol yang acapkali muncul adalah tarik-menarik kewenangan antara Pusat dan Daerah dalam mengelola sumber daya alam yang ada di daerah.“Hubungan pusat dan daerah kurang harmonis. Daerah-daerah cenderung resisten dengan kebijakan pemerintah pusat. Trust issue sering kali muncul karena kebijakan pusat yang dianggap merugikan daerah. Oleh sebab itu, perlu mencari instrumen untuk menyatukan perspektif dalam menjalankan kewenangan daerah” kata Siti Zuhro dalam kegiatan Focus Group Discussion FGD yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan PUSHEP bekerja sama dengan Ditjen Bina Pembangunan Daerah BANGDA dengan tema “Membangun Konsepsi Pelibatan Daerah Provinsi dalam Pengelolaan Mineral dan Batubara dalam Kerangka Pelaksanaan UU No. 3 Tahun 2020”, Jakarta, 13/10/ lanjut Siti Zuhro menyoroti revisi besar UU Minerba UU Tahun 2020 yang pada intinya menyangkut isu pengelolaan dan pengawasan. “Perubahan krusial terkait pemindahan perizinan dan pengawasan dari pemerintah daerah kepada pusat kemudian menimbulkan pertanyaan lebih jauh bahwa apakah ini akan lebih efektif dan efisien serta memberikan kemanfaatan yang luas bagi rakyat” pemerintah daerah perpindahan kewenangan tersebut bisa menimbulkan berbagai risiko seperti hilangnya pendapatan daerah hingga kemungkinan kerusakan lingkungan karena tiadanya pengawasan pemerintah daerah terhadap kegiatan pertambangan di daerah. Siti Zuhro setidaknya mencatat dalam UU No. 3 Tahun 2020, kewenangan pemerintah daerah banyak yang dicabut. “Sedikitnya terdapat 15 pasal yang mengalihkan kewenangan daerah kepada pemerintah pusat. Olehnya itu, pengelolaan natural resource akan cenderung sentralistik”, Pemerintah Daerah tidak memiliki posisi tawar dan tidak terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam. Pemerintah Daerah Provinsi bisa jadi tidak lagi merasa memiliki atau tak peduli terhadap natural resource dan juga terkait dampaknya terhadap lingkungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa UU Minerba yang baru ini menandai ditariknya kembali urusan yang menjadi kewenangan daerah, baik dari aspek perizinan maupun pengawasan. Permasalahan mendasar yang tersisa kedepannya adalah apakah pemerintah pusat mampu mengelola proses perizinan dan pengawasan wilayah pertambangan di seluruh Indonesia?Selain itu, Siti Zuhro juga mengatakan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan yang diserahkan ke daerah saat ini tidak efektif, karena kurang fungsional sehingga membuat daerah sering kehilangan kendali. Lebih lanjut, adanya perbedaan persepsi antara pusat dan daerah mengenai desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks NKRI kedaerahan dan keindonesiaan membuat pusat dan daerah seolah jalan sendiri-sendiri, padahal seharusnya dapat menciptakan sinergisitas antara keduanya sebagai komponen penting dalam penyelenggaraan negara.
Pemerintah Kota Jambi gelar konfrensi terkait kritikan pelajar SMP foto istimewaAir cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga" pribahasa Melayu.Kutipan peribahasa di atas menjadi gambaran praktik pemerintahan saat ini. Sekaligus menjadi sindiran yang sepantasnya untuk bahan renungan para aktor pemerintahan. Lantaran memperlakukan rakyatnya dengan tidak tidak terasa sakit hati ini, setelah mendengar pelajar SMP di Jambi yang dilaporkan oleh pemerintah daerahnya. Hanya lantaran ujaran kritik yang tak mengenakan bagi pemerintah kasus pelaporan itu konon telah dicabut. Pemerintah daerah Jambi memilih jalur lain. Namun luka hati rakyat tidaklah mudah diobati. Pelaporan pemerintah daerah itu akan dikenang dalam perjalanan hidup pelajar SMP Pemerintah dan RakyatIlustrasi politik identitas. Foto Shutter StockDalam literatur pengetahuan relasi penguasa dan rakyat memang bercorak ragam. Dipengaruhi perjalanan sejarah dan kultur yang hidup dalam masyarakat. Bagi sebagian negara-negara maju relasi pemerintah dan rakyat dibangun dalam ruang dituntut memberikan pelayanan profesional, begitu pula rakyat diharapkan bertindak profesional. Bahkan beberapa literatur pun menggambarkan relasi pemerintah dan rakyat bagaikan pemilik modal dan pekerja. Bagaimana di Indonesia?Di Indonesia tentu saja berbeda. Relasi pemerintah dan rakyat dibangun dalam suasana kekeluargaan. Bagaikan hubungan orang tua dan anak. Bukan sebagai pemilik modal dan relasi ini memang tidak lepas dengan sosiokultur masyarakat Indonesia. Juga tak lepas dari pertalian sejarah dengan corak relasi masa kerajaan. Di mana rakyat memposisikan raja sebagai orang tua dan utusan alamiah pola seperti itu terus menjalar. Perlakuan rakyat kepada pemerintah era sekarang, masih dipengaruhi perlakuan masa kerajaan. Pemerintah selalu ditempatkan pada posisi tertinggi, dihormati dan panutan. Lantas apakah itu buruk?Tentu saja tidak mudah menjawab. Hanya saja relasi pemerintah dan rakyat yang bercorak kekeluargaan ini merupakan sosiokultur Indonesia. Dalih ini sudah pasti memberi jawaban relasi semacam itu corak kekeluargaan bukanlah sesuatu yang corak kekeluargaan ini pemerintah menjadi pengayom bagi rakyatnya. Pengayom yang sekaligus pendidik. Pemerintah yang berikan rasa aman dan pemahaman. Layaknya orang tua yang melindungi dan mendidik anak-anaknya. Bukanlah sebaliknya berikan kekeluargaan juga menghubungkan pada ruang dialogis. Di mana segala persoalan ditempatkan pada ikatan komunikasi yang setara. Bagaikan orang tua yang berdialog dengan corak kekeluargaan bukan berarti tanpa penghormatan. Sanksi dalam corak kekeluargaan tetap berlaku. Tentu saja dalam bingkai sanksi yang melindungi dan mendidik. Bagaikan orang tua yang memberi sanksi bagi anak-anaknya yang enggan sederhana itu terasa tidak ada dalam perilaku pemerintah daerah Jambi. Sikap kritis pelajar SMP terhadap suatu kebijakan diganjar pelaporan hukum. Menempatkan pelajar SMP sebagai lawan, bukan sebagai anak seperti dalam corak daerah Jambi abai terhadap esensi dialog yang tersirat pada corak kekeluargaan. Pemerintah daerah menilai sikap kritis pelajar SMP bagaikan cemeti. Sehingga perlu diberikan sanksi keras dan menakutkan. Jika saja dialog itu dihadirkan, maka tiada perselisihan Pusat dan Pemerintah DaerahPersis pula peribahasa di atas. Perilaku pemerintah pusat terhadap rakyat, juga ditiru pemerintah daerah. Lebih mudah menawarkan jalur hukum bagi rakyat yang bersikap dekat perselisihan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyati yang berujung pada gugatan hukum. "Hanya lantaran" kritikan Haris Azhar dan Fatia terhadap sepak terjang Luhut Binsar representasi pemerintahan yang dilekatkan pada sosok orang tua, alangkah baik jika Luhut Binsar Pandjaitan mengajak dialog. Duduk bersama menyampaikan segala yang dipersengketakan. Bagaikan orang tua yang duduk bersama di sore hukum memang dibenarkan. Dalam bingkai negara hukum, menjadi benar untuk melakukan jalur tersebut. Hanya saja dalam corak pemerintah kekeluargaan perlakuan itu menjadi terlalu reaktif. Kenyataan seperti itu bukan lah kali pertama. Berulang kali pemerintah pusat menunjukkan akrobat kekuasaannya. Sepertinya lupa pada esensi kekeluargaan dalam praktik pemerintahan di tidak aneh jika pemerintah daerah Jambi pun melakukan hal serupa. Meniru perilaku yang dilakukan pemerintah pusat. Menyeret pelajar SMP melalui jalur hukum untuk menyelesaikan perkara. Sungguh inilah realitas pemerintahan masa kini. Persis peribahasa di atas air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga.